Selasa, 15 Juni 2010

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 BUDAYA POLITIK NEGATIF DI GORONTALO

Setiap masyarakat mempunyai budaya. Makalah ini saya mulai dengan empat buah budaya masyarakat Gorontalo baik yang pernah saya alami sekitar lima puluh tahun yang lalu, maupun yang kisahnya saya terima dari orang-orang tua di Gorontalo. Secara literatur, inti budaya adalah nilai-nilai (values), yaitu sesuatu yang lebih disukai untuk dilakukan dan diprioritaskan untuk dilaksanakan (preference and priority). Nilai pertama yang ingin saya sampaikan adalah nilai alanggaya lobuntho disingkat nal dan yang kedua adalah nilai mo poudaa tau disingkat nmpt. Nilai ketiga adalah nilai ti bagogo, disingkat ntb, sedangkan nilai keempat adalah nilai patriotism.Salah satu hiburan dan mungkin juga termasuk olah raga di kota Gorontalo pada tahun 1950-an (selain sepak bola dan sepa) adalah menaikkan layang-layang di sore hari. Ada dua macam layang-layang ketika itu. Yang pertama adalah layang-layang yang kecil dan langsing yang sengaja dinaikkan untuk diadu dengan yang lain melalui benang yang sudah digalasi. Jenis layang-layang yang kedua adalah layang-layang yang lebih besar, didisain dalam bentuk burung garuda atau elang yang disebut alanggai bulia dengan harga yang cukup mahal ketika itu. Hampir setiap sore hari di tanah lapang/alun-alun selalu ramai dengan kegiatan layang-layang. Jika suatu layang-layang putus baik karena kalah dengan galasi yang lain maupun karena angin kencang, maka para remaja termasuk orang–orang muda yang sedang meningkat dewasa mengejar dan memperebutkan layangan yang putus itu.Momen yang sangat menarik adalah pada saat layang-layang itu menjelang jatuh ke tanah. Setiap remaja dan pemuda yang dilengkapi dengan bambu (seperti tiang bendera) memperebutkan dengan cara yang galak, artinya walaupun seorang pemuda telah berhasil mengkait layang-layang itu pada bambunya, tapi pemuda-pemuda lain tidak rela jika layang-layang itu diperoleh dan dikuasai pemuda pertama tadi. Pemuda-pemuda lain beramai-ramai memukulkan bambu ke arah layang-layang yang sudah terkait pada bambu pemuda pertama, sehingga layang-layang tadi menjadi hancur, kertasnya sobek, kerangkanya patah hampir tak berbentuk lagi. Nilai para pengejar tadi atau saya sebut nal, adalah “biar hancur, asal tidak kau dan tidak juga orang lain yang berhasil mencapai dan menguasai layangan tersebut”. Nal sangat memuaskan para pengejar layangan, tapi sangat memilukan pemilik layangan tadi. Nal adalah metafora dari salah perilaku politik yang negatif.

Nilai kedua adalah nmpt, yakni menghargai tamu, menghargai orang lain. Tak jarang suatu keluarga yang sederhana dari masyarakat Gorontalo kedatangan tamu, baik untuk beberapa saat dalam satu hari maupun sampai menginap, maka tuan rumah dengan segala daya upaya mencari dana untuk dapat membelikan dari sekedar beberapa potong kue/kukis sampai untuk membeli beras dan lauk pauk. Sajian dua atau tiga telur ayam di meja makan untuk menghargai/menyenangkan tamu adalah indikator rendahnya kemampuan ekonomi dari tuan rumah, tetapi toch tuan rumah tetap menyuguhkan.Pada tahun 1958-an pada saat TNI dengan sejumlah prajurit yang antara lain berasal dari KODAM V BRADWIDJAYA dalam rangka Operasi Sapta Marga II mendarat di Gorontalo, nilai nmpt tersebut makin nyata. Banyak ibu-ibu yang sampai-sampai menggadaikan harta geraknya, demi dapat menyuguhkan dan menyenangkan tamu para prajurit TNI tersebut. Nmpt adalah nilai positif masyarakat Gorontalo berani berpayah-payah dalam membantu para prajurit TNI menegakkan Sapta Marga. Ini adalah nilai berani berkorban, menghargai tamu. Itulah dua nilai masyarakat Gorontalo yang berada di dua kutup dalam pengamatan saya lima puluh tahun yang lalu. Akan kita dialogkan apakah dua nilai-nilai negatif ini masih ada, dan sebaliknya apakah nilai-nilai positif telah berkembang pada masyarakat Gorontalo.Nilai ketiga adalah nilai ti bagogo. Hampir setiap ibu yang mau menidurkan anaknya, jika lagu-lagu buaian (cradle song), telah habis dinyanyikan akan tetapi si anak belum juga mau tidur, dikreasilah suatu dialog dengan butha/raksasa (makhluk yang jelek dan jahat) yang namanya ti bagogo, yang syahdan suka menculik anak-anak kecil. Dialog yang dikreasi sang ibu antara lain: “napa dia bagogo tidak mau tidur”. Jika sianak terpengaruh, maka anakpun diam dan siap untuk tidur. Pada saat itu lalu ibu tersebut berujar: ”sudah, pergi saja bagogo, dia so tidur”. Dalam nilai ini, mungkin terdapat unsur positif, yakni si anak segera tertidur, dan ada juga unsur negatifnya, yakni berbohong kepada anak.Nilai yang keempat adalah nilai patriotism. Peristiwa 23 Januari 1942 yang dipimpin oleh Nani Watabone menangkap Pemerintah/tentara Belanda di Gorontalo adalah nilai berani berkorban untuk negara, karena cinta tanah air. Peristiwa ini adalah peristiwa patriotik yang juga adalah unsur utama dalam nilai demokrasi. Mengapa? Karena pak Nani Wartabone telah memperlihatkan aksinya, bukan saja dengan kata-kata tentang cinta tanah air dan tidak setuju dengan penjajahan.

2. Pendekatan

Judul yang diberikan oleh Panitia untuk didialogkan siang ini adalah Pilkada, Pemilu 2009 dan Masa Depan Demokrasi Di Gorontalo. Ketiga konsep tersebut, menurut saya, adalah variabel-variabel utama dalam sistem politik yang mempunyai nilai-nilai tertentu, yang tentu berbeda pada negara totaliter dan negara demokrasi seperti Indonesia. Berdasarkan hal ini maka, pendekatan dalam penyajian materi dialog ini adalah pendekatan nilai sehingga judul yang diberikan Panitia saya tambahi dengan pendekatan nilai-nilai. Sistem politik dapat terdiri dari beberapa unsur yang merupakan konsep utama, yakni kekuasaan, kepentingan, kebijaksanaan dan budaya politik (Budiardjo, 2007:59). Setiap anggota partai baik secara langsung maupun melalui pemimpinnya yakni elit politik terlibat dari empat unsur itu. Setiap elit politik ingin memiliki kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu dapat mencapai berbagai kepentingannya melalui pengambilan keputusan berupa kebijakan, yang memungkinkan cara ini menjadi suatu yang terbiasa atau berulang, sehigga menjadi budaya politik. Dengan demikian unsur utama dalam sistem politik adalah kekuasaan. Untuk mencapai kekuasaan terdapat berbagai cara, antara lain dengan cara galak, atau cara demokratik yang melalui nilai-nilai demokrasi.

3. Materi Dialog

Sebagai bahan dialog siang ini, berdasarkan kajian literatur, saya akan menyajikan nilai-nilai masyarakat pada umumnya, dilanjutkan dengan nilai-nilai demokrasi yang universal (democratic values), dan peranan partai politik di negara demokrasi. Saya berharap, berdasarkan nilai-nilai ini, akan didialogkan nlai-nilai demokratik mana yang seharusnya akan dianut oleh para anggota partai politik, para elit politik dan juga para birokrat di Gorontalo di masa depan. Salah satu penomena yang jelas sesudah lengsernya orde baru pada tahun 1998 adalah terdapatnya mobilitasi politisi menjadi birokrat, birokrat menjadi politisi, pebisnis jadi politisi dan pebisnis jadi birokrat.

4. Pertanyaan utama dalam dialog

Apakah terdapat nilai-nilai masyarakat atau nilai-nilai demokrasi yang universal dapat membimbing anggota masyarakat untuk berperilaku lebih baik? Dapatkah misalnya nilai-nilai penghormatan (rasa hormat) dan kejujuran (jujur) serta patriotisme, berani berkorban untuk orang lain menjadi pedoman dalam berpolitik, yakni dalam mencapai dan merebut kekuasaan?

5. Nilai-nilai masyarakat menurut Lasswell

Lasswell adalah salah seorang pendiri ilmu politik yang terkenal dengan bukunya Who Gets What, When and How yang ditulisnya tahun 1958. Lasswell sebagaimana dikutip (Budiardjo, 2007:47) menyajikan delapan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai itu adalah kekuasaan (power), kekayaan (wealth), penghormatan (respect), kesehatan (well-being) kejujuran (rectitude), ketrampilan (skill), pendidikan/penerangan (engligtenment) dan kasih sayang (affection).Walaupun delapan nilai ini dirumuskan di negara Barat, tapi saya kira nilai-nilai tersebut bersifat universal, artinya tidak saja di negara-negara Barat atau di negara-negara Timur nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai positif yang jika dianut dan dilaksanakan oleh anggota-anggota masyarakat akan menimbulkan suasana yang kondusif ke arah masyarakat adil dan makmur. Lasswell menempatkan nilai kekuasaan sebagai nilai pertama, karena kekuasan adalah elemen utama dalam ilmu politik dan politik praktis. Apa yang diperebutkan dengan berbagai cara oleh partai politik tidak lain adalah kekuasaan. Kekuasaan akan terkait dengan kekuasaan mengambil keputusan terhadap sumber-sumber daya, baik sumber daya keuangan, sumber daya alam maupun terutama sumber daya keuangan.

Walaupun kekuasan ditempatkan pada urutan pertama, tetapi Lasswell menyadari bahwa kekuasaan saja tidak cukup, bahkan bisa menimbulkan malapetaka jika disalahgunakan. Karena itu nilai-nilai lain ditempatkan pada urutan selanjutya baik sebagai nilai yang dapat dicapai secara individual maupun secara kolektif. Nilai kekayaan atau menjadi kaya diminati oleh setiap individu. Siapa sih yang tak mau kaya? Akan tetapi terdapat nilai lain yang membatasi atau memandu keinginan itu misalnya nilai menghormati orang lain, nilai jujur dalam bertindak baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain serta nilai kasih sayang.

6. Nilai-Nilai Demokratik (democratic values)

Konsep democratic values yang dapat diakses antara lain dari fasilitas internet, membagi Democratic values menjadi dua, yakni Core Democratic Values dan Constitution Principles. Yang termasuk dalam Core Democratic Values terdiri dari sepuluh konsep, yakni life, liberty, the pursuit of happines, common good, justice, equality, diversity, truth, popular sovereignity and patriotism. Sedangkan yang termasuk dalam Constitutional Principles di Amerika Serikat terdiri dari delapan konsep, yakni rule of law, separation of powers, representative government, Checks and balance, individual Rights, freedom of religion, federalism and civilian control of the militery.Sepuluh nilai tersebut tentu saja sangat luas, dan tidak terjangkau untuk dibahas dalam dialog yang waktunya sangat terbatas pada siang hari ini. Dari sepuluh democratic values tersebut, menurut saya yang sangat relevan dengan dialog siang ini adalah nilai:1.The pursuit of happiness2. Common good.3. Justice4. Equality5. Truth6. Patriotism.The pursuit of happines adalah hak setiap penduduk untuk mengejar kebahagiaan dunia (dan akhirat). Dalam mengejar kebahagiaan tersebut setiap penduduk bebas memilih profesi dan sarana, sepanjang tidak mengintervensi atau mengganggu hak-hak orang lain.Common good adalah hak untuk bekerja sama dengan orang dan pihak lain untuk mencapai kebahagiaan komunitas. Di sini terdapat upaya bersama untuk mencapai manfaat bersama. Dari dua nilai demokrasi ini, bagaimana pendapat anda dengan nilai alanggaya lobuntho?Justice adalah nilai demokrasi yang menghendaki supaya setiap penduduk diperlakukan sama secara adil baik dari manfaat maupun beban masyarakat. Jangan sampai ada orang atau kelompok orang yang “berdiri” di atas pundak orang atau kelompok lain.Equality adalah nilai demokrasi yang menghendaki bahwa setiap penduduk mempunya kesamaan dihadapan politik, hukum, sosial dan ekonomi. Setiap penduduk mempunyai hak untuk diperlakukan sama, tanpa memandang ras, seks, agama, keturunan maupun status ekonomik.Truth adalah nilai demokrasi yang menghendaki bahwa pemerintah jangan berbohong kepada rakyat dan pemerintahnya hendaknya jangan menutup-nutupi informasi kepada penduduk. Sebaliknya, penduduk-baik secara individual maupun secara kelompok/parpol - jangan pula berbohong kepada pemerintah. Terdapatnya truth pada kedua belah pihak – pemerintah dan penduduk, dapat menimbulkan trust in government yang merupakan lahan subur untuk good governance.Karena tidak memperhatikan nilai truth, banyak orang, sebahagian kaum intelektualpun yang terperosok kearah kedangkalan, banality, (Arendth, 1977), sehingga dapat bertindak di luar kewajaran. Bagaimana pendapat anda dengan nilai ti bagogo di sebahagian kalangan masyarakat Gorontalo (pada zaman lalu?)Patriotism adalah nilai demokrasi yang menghendaki supaya rakyat atau penduduk mencintai dan berbakti kepada bangsa dan nilai-nilainya. Patriotisme dapat dinyatakan baik dengan kata-kata, tetapi terutama dengan perbuatan. Apakah anda memiliki nilai patriotism apabila anda menyukai lebih baik hancur daripada ia yang memilikinya sesuai dengan nilai alanggaya lobuntho? Atau sebaliknya memiliki dan mempraktikkan nilai-karena cinta tanah air- ikhlaskan saja dia atau mereka yang memiliki kekuasaan. Lain kali aku akan lebih baik sehingga dapat memiliki kekuasaan itu.

Dalam UUD 1945, Hak Asasi Manusia diatur dalam Pasal 28, yang antara lain hak mempertahankan hidup dan kehidupan setiap warga negara, hak mengembangkan diri, hak untuk bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal ini berarti bahwa UUD 1945 antara lain mempunyai nilai-nilai termasuk hak-hak asasi maupun hak-hak politik seperti hak mempertahankan hidup dan kehidupan, mengembangkan diri, bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

BAB IV

PENUTUP

Jadi yang harus di utamakan adalah kejujuran dalam melakukan segala sesuatu di karenaka kejujuran menjadi hal yang sanghat penting bagi kehidupan kita sehari-hari di karenakan seorang calon pemimpin yang baik adalah seseorang yang bisa memberikan contoh atau perilaku yang baik terhadap rakyatnya seperti: tidak melakukan kebohongan, selalu berperilaku baik, melaksanakan politik secara sehat tanpa ada isu-isu kebohongan yang bisa merugikan, selalu komitmen dengan apa yang dikatakan tanpa ada kebohongan dalam menjalankan kekuasaan.

Budaya politik yang baik harus dijalankan oleh para elit politik yang akan mau melaksanakan politik tanpa ada kecurangan sedikitpun berdasarkan etika politik yang berlaku dalam pemberdayaan budaya politik sebagai manamenrut almound budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni :

  1. Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan
  2. Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang ibyek politik
  3. Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Banyak ahli mendefinisikan pengertian budaya politik. Roy Macridis, mendefinisikan kebudayaan politik adalah sebagai tujuan bersama dan peraturan yang diterima bersama. Samuel Beer komponen-komponen kebudayaan adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap emosi tentang bagaimana pemerintah seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah. Sedangkan menurut Finer, kebudayaan politik suatu bangsa terutama nampaknya terpusat terhadap legitimasi peraturan-peraturan dan lembaga politik serta prosedur. Kemudian Dennis Kavanagh, kebudayaan politik adalah sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana sistem politik itu berlangsung. Adapun obyek-obyek politik mencakup bagian dari sistem politik, seperti badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, partai-partai politik, dan kelompok-kelompok organisasi, pandangan-pandangan individual sendiri sebagai pelaku-pelaku politik dan pandangannya terhadap warga masyarakat lain.
Robert Dahl, mendefinisikan kebudayaan politik adalah satu faktor yang menjelaskan pola-pola yang berbeda mengenai pertentangan politik. Adapun unsur budaya yang penting:
1.Orientasi masalah-masalah, apakah mereka pragmatik atau rasionalistis. Orientasi ini biasanya ditentukan/diarahkan oleh faktor-faktor eperti tradisi, kenangan sejarah, motif, agama, perasaan, dan simbol-simbol. Adapun komponen orientasi ini Cognitif (pengetahuan dan kesadaran tentang sistem politik), afektif, kecenderungan emosi terhadap sistem itu, dan evaluasi (pertimbangan terhadap sistem).
2.Orientasi terhadap aksi bersama, apakah mereka bersifat kerjasama atau tidak (kooperatif atau non kooperatif).
3.Orientasi terhadap sistem politik, apakah mereka setia atau tidak.
4.Orientasi terhadap orang lain, apakah mereka bisa dipercaya atau tidak.

Menurut Pye, indikator-indikator kebudayaan politik suatu bangsa mencakup faktor-faktor seperti wawasan politik, bagaimana hubungan antara tujuan dan cara standar untuk penilaian aksi politik serta nilai-nilai yang menonjol bagi aksi politik.

Definisi budaya politik yang lain diberikan Almond dan Verba, Menurut keduanya budaya politik merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sistem politik. Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif dan evaluasi. Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Sementara itu orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Jadi menyangkut feelings terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya (Gaffar, 2004:99-100). Pendapat lain lagi dikemukan oleh Rusadi Kantaprawira, Budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang (Kantaprawira, 1999:26).

Jadi kebudayaan politik tidak lain adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Dalam kedudukannya sebagai satu subkultur, kebudayaan politik dipengaruhi oleh budaya secara umum.

Lalu bagaimana dengan budaya politik Indonesia? Menurut Afan Gaffar (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik. Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia adalah sebagai berikut (Kantaprawira, 1999:37-39):

1. Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keaneka ragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
2. Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya - yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial - sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif – yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen – kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
3. Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
4. Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
5. Dilema interaksi tentang introduksi moderenisasi (dengan segala konsekwensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Varibel-variebel tersebut di atas terjali satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi tidak ditaati.

2.1 SEJARAH BUDAYA POLITIK
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.

Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.

Makalah ini akan mengeksplorasi secara luas pengertian budaya politik dari berbagai pakar. Meskipun hanya mengemukakan berbagai pendapat tentang budaya politik diharapkan bisa memberikan gambaran konsep yang kontroversial ini.

A. Pola sikap dan orientasi individu

Menurut Gabriel Almond (1966)budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni :

  1. Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan
  2. Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang ibyek politik
  3. Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.

Orientasi individu terhadap obyek politik dapat dipandang dari tiga hal itu. Oleh karena itu seorang individu mungkin memiliki tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari kebijakannya. Inilah yang disebut dimensi kognitif.

Namun ia mungkin memiliki perasaan alienasi atau penolakan terhadap sistem. Mungkin keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Mungkin ia tak merespon tuntutan terhadapnya oleh sistem. Itulah yang disebut dimensi afektif.

Akhirnya seseorang mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Barangkali noram-norma demokrasinya mendorong dia menilai sistem sebagai tidak cukup responsif terhadap tuntutan politik atas norma-norma etiknya mendorong dia mengecam tingkat korupsi dan nepotisme.Dimensi-dimensi ini saling berkaitan dan mungkin memiliki kombinasi dalam berbagai cara.

B. Orientasi individu dan kolektif

Walter A Rosenbaum menyebutkan, budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya.

Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya. Inilah yang disebut “pendekatan sistem”.

C. Aspek politik sistem nilai

Albert Widjaja menyatakan budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk mneolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Ia malah menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, katanya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam.

D. Obyek-obyek Orientasi Politik

Obyek yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor politik dan ego dari aktor politik.

Almond sendiri seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya politik.

  1. Budaya politik parokial dimana kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada semakli terhadap sistem politik. Kelompok ini aka ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
  2. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur inputs.
  3. Budaya politik partisipan adalah individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan.

Rosenbaum menulis daftar tentang orientasi terhadap elemen-elemen tatanan politik.

  1. 1. Orientasi terhadap struktur pemerintah
  2. Orientasi rejim, bagaimana individu mengevaluasi dan merespon terhadap lembaga pemerintahan, simbol-simbol, para pejabat dan norma-normanya.
  3. Orientasi terhadap inputs dan outputs pemerintah, bagaimana individu merasakan dan merespon terhadap tuntutan untuk kebijakan publik dan kebijakan yang diputuskan pemerintah.
  4. 2. Orientasi terhadap yang lain dalam sistem politik
  5. Orientasi identifikasi, kesatuan politik, wilayah geografis dan kelompok dimana ia merasa memilikinya.
  6. Kepercayaan politik, sejauh mana seseorang merasa terbuka, kooperatif atau bersikap toleran dalam bekerja dalam kehidupan masyarakat.
  7. “Aturan permainan”, konsep individu tentang aturan mana yang harus diikuti dalam kehidupan kenegaraan.
  8. 3. Orientasi terhadap Aktivitas Politiknya
  9. Kompetensi Politik, seberapa sering dan dalam cara bagaimana seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik, mana yang paling sering digunakan sebagai sumber politik baginya dalam masalah kenegaraan.
  10. Political Efficacy, perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat menghadirkan pengaruh atas proses politik.

Kamis, 03 Juni 2010

OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom yadalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:

  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

Aturan Perundang-undangan

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:

  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru

Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

  1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
  2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
  3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]

Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]

Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13]

Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:

  1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
  2. pembentukan negara federal; atau
  3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.

Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :

  1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
  2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
  3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
  6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
  7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
  8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
  9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
  11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
  12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
  13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
  14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
  15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

Referensi

  1. ^ UUD 1945 pasal 18 ayat 2
  2. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kedua, Pasal 11
  3. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
  4. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf c
  5. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf e
  6. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf b
  7. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf f
  8. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf d
  9. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)
  10. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17
  11. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23
  12. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29
  13. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30
  14. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
  15. ^ UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)

NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 2

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.

(2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

BAB II

PEMBENTUKAN DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS

Bagian Kesatu

Pembentukan Daerah

Pasal 4

(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undangundang. (2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.

PANDANGAN GORONTALO KEDEPAN DILIHAT DARI KASUS POLITIK KEMARIN

GORONTALO – Aparat di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo sepertinya perlu berkerja lebih serius lagi dalam memberantas korupsi. Betapa tidak, setahun terakhir ini institusi tersebut masih nunggak 16 kasus korupsi yang belum dituntaskan. Padahal, di seluruh Indonesia, kasus korupsi mencapai 1.700 kasus sudah menjadi kewajiban seluruh instansi kejaksaan untuk menuntaskannya.

"Di Gorontalo masih terdapat 16 kasus. Tolong kerjakan penanganan korupsi yang big fish. Bukan hanya kasus masalah barang dan jasa saja, tetapi kasus-kasus yang membebani masyarakat," tegas Kejagung dengan mimik sangat serius kepada Kejati Gorontalo, Kamis (8/4).

Selain itu, Jaksa Agung Hendarman menegaskan, yang terpenting dalam penuntasan kasus bukan hanya profesionalisme akan tetapi adalah moral meneggakan hukum. Sehingga pelayanan prima dapat diwujudkan menuju birokrasi yang bersih, produktif, efektif, efisien. Birokrasi yang transparan, birokrasi yang memberikan pelayanan publik.
“Bukan birokrasi yang meminta dilayani dan birokrasi yang kredibel yaitu antara anggaran yang diterima dan pelayanan tugas yang berimbang,” jelasnya.

Hendarman menekankan, moral penegak hukum sangat penting dalam penegakkan hukum. “Semua kejadian yang dialami di kejaksaan ini karena tergelincirnya, karena rasa tidak pakemnya rem dalam masalah penegakkan moral ini. Saya pula telah mencanangkan 6 tertib yaitu, tertib administrasi, jam kerja, anggaran, perlengkapan, kepegawaian dan yang paling penting adalah tertib moral,” pungkasnya.

Selain itu Jaksa Hendarman pula menginformasikan, kepada semua jajaran Kejaksaan di Gorontalo bahwa Kejagung berencana untuk melaksanakan reformasi birokrasi. “Reformasi birokrasi tujuan akhirnya adalah bagaimana kita membangun, merubah pola pikir, budaya kerja dan kinerja kita, untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, dan inilah yang terpenting,” tegasnya.

Sementara itu Kejaksaan Tinggi Gorontalo belum memberikan keterangan remsi mengenai 16 kasus tipikor yang masih mengendap. Kajati Bambang Waluyo ketika ditanya kasus-kasus apa saja yang dimaksud hanya mengatakan, “Ada 16 kasus besar sementara ditangani Kejati Gorontalo.”.

Kendati demikian, berdasarkan catatan Gorontalo Post 16 kasus tindak pidana korupsi yang masih ditangani oleh Kejati Gorontalo diantaranya, Kasus PATM Bone Bolango, Dana Dekon Pusat Koperasi Simpan Pinjam, pembangunan Jembatan Bogo-bogo dan Break Water di Kabupaten Gorontalo Utara

KASUS PEMILU DI GORONTALO

Komisi Pemilihan Umum (KPU) diserbu demonstran yang menyatakan ketidakpuasan atas proses Pilkada Walikota (Pilwako) Gorontalo. Mereka meminta KPU mendesak KPU Provinsi Gorontalo membekukan KPUD Kota Gorontalo dan mengulang tahapan Pilwako yang telah mencederai salah satu pasangan kandidat yang disokong PPP, PKB, dan Partai Demokrat.

''KPU Kota Gorontalo sama sekali tidak melakukan klarifikasi kepada PPP,'' kata Ketua Majelis Pakar PPP Provinsi Gorontalo, Hendra Abdul, Rabu (9/4). Dia mengatakan, KPU Kota Gorontalo telah mencoret pasangan Alwi Thalib dan Yani Suratinoyo (Wahyu) dari pencalonan wali kota Gorontalo. Alasan KPUD Kota Gorontalo, kata Hendra, karena surat pengusulan dari PPP hanya ditandatangani oleh caretaker ketua dan sekretaris DPC PPP. Pencoretan Wahyu juga dipersoalkan Ketua Dewan Syuro DPC PKB Kota Gorontalo, Abdul Kadir Al Hasmi. KPUD, menurut dia, tak bisa memberi jawaban ketika keputusan mereka didebat dengan menggunakan penjelasan Pasal 42 PP 6/2005.

''Yang disebut pimpinan parpol adalah ketua umum atau sebutan lainnya sebagaimana diatur dalam AD/ART parpol,'' kata Kadir. Pejabat sementara DPC PPP, kata Kadir, sudah mendapat pengesahan dari DPW Gorontalo PPP dan dikukuhkan DPP PPP. Pengangkatan pejabat tersebut, yang ikut datang ke KPU kemarin, dilakukan setelah DPW PPP membekukan DPC Gorontalo.

Menurut Kadir, KPU Kota Gorontalo sudah melanggar kewenangan mereka. Apalagi, kata dia, sudah ada surat dari KPU Pusat yang meminta KPUD Kota Gorontalo mengakomodasi pasangan calon ini. Anggota DPW PPP Gorontalo, Tajim, mengatakan KPUD Kota Gorontalo tidak cermat menyikapi persoalan ini. ''Ada skenario besar yang sedang digelar di daerah,'' kecam dia.

Anggota KPU Andi Nurpati Baharuddin membantah KPU pernah 'mengizinkan' kembali berlaganya pasangan ini. Surat KPU tertanggal 26 Maret 2008 kepada KPU Provinsi Gorontalo hanyalah memberikan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. ''KPU kan hierarkis. KPU provinsi dulu yang menangani persoalan ini,'' katanya. Sejauh ini, belum ada rencana KPU Pusat untuk turun tangan. ''KPU provinsi dulu. Apalagi, ini masalahnya sudah jelas,'' ujarnya.

Menurut Andi, berdasarkan laporan KPUD Provinsi Gorontalo, yang menjadi alasan pencoretan pasangan calon itu bukanlah siapa yang menandatangani surat dari PPP. Tetapi, kata Korwil Pilkada wilayah Sulawesi ini, adalah surat pengukuhan dari DPP PPP baru ditandatangani pada 5 Maret 2008. Sedangkan, pendaftaran calon ditutup pada 2 Maret 2008.

Akhirnya, KPUD Kota Gorontalo hanya meloloskan dua pasangan kandidat, yaitu Andhan Dambea-Feriyanto Mayulu (Damay) yang diusung Partai Golkar dan PDIP serta duet Zulkarnaen Dunda-Ridwan Podungge yang dijagokan PBR dan PAN. Keputusan itu memicu demonstrasi besar-besaran yang melumpuhkan aktivitas sosial dan ekonomi Kota Gorontalo dalam beberapa hari ini.

Sementara itu, Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, yang dituding 'melarikan diri' dari persoalan di daerahnya dengan banyak berada di luar kota, memberikan konfirmasi singkat kepada Republika. ''Sedang mengurus APBN-P (perubahan) untuk dana banjir,'' katanya.

BUDAYA POLITIK

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).

Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.

Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli

Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.

a. Rusadi Sumintapura

Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

b. Sidney Verba

Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.

c. Alan R. Ball

Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.

d. Austin Ranney

Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.

e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.

Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :

Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.

BUDAYA POLITIK GORONTALO

Dengan reformasi semuanya telah berubah, Gorontalo menjadi sebuah provinsi baru dan Fadel Muhamad adalah sang gubenurnya yang dalam tulisan ini saya sebut sang maestro dengan sebuah kota dan empat kabupaten serta anggaran belanja tahunan hampir 2 triliun rupiah. Tentunya perubahan ini membawa implikasi yang serius dalam perilaku dan pranata sosial masyarakat gorontalo wabil khusus dapat kita temukan diwilayah-wilayah perkotaan gorontalo.
Momentum perubahan gorontalo harus dikenali sebagai given dari proses politik yang disebut reformasi, bukan sebagai usaha dari orang perorang atau kelompok tertentu saja, kenapa hal ini perlu disampaikan karena telah terjadi upaya pengkaburan fakta demi sebuah mengangkat citra poltik kelompok atau orang perorang yang mengklaim sebagai penyelamat gorontalo

Bukankah arus kuat dana pusat kedaerah karena sebuah proses politk yang menghendaki desentralisasi kewenangan pengelolaaan keuangan Negara yang jumlahnya ditentukan dengan variable-variable yang ditentukan pemerintah pusat?

Perubahan sebuah kota dan kabupaten yang tertinggal menjadi provinsi ini kemudian dimanfaatkan untuk membangun citra yang katanya karena lobby seseorang atau bahkan pengkulutusan sang maestro dan menegasi pikiran atau pendapat yang menyampaikan sebuah fakta dan kebenaran. Dan upaya pengkultusan menjadi sah dan legal karena dibenarkan oleh lembaga- lembaga resmi yang dikuasai sang maesto yaitu, Birokrasi, Partai-partai politk, dan sebagian kecil teman-teman media yang sedikit fragmatis.

Dominasi ini menjadi subur ditengah masyarakat kita yang masih sangat patenalistik, yaitu dengan memberikan dukungan kepada sang maestro maka rasa takut bawahan digantikan oleh sedikit harapan-harapan yang diberikan baik berupa keaman karir, perlindungan politik dan distribusi ekonomi berupa paket proyek yang dikuasai oleh sang maestro.